Para Sahabat Terinspirasi oleh Sahabat Lainnya

Sejarah

Kita akan berkelana sejenak ke sebuah masa terbaik, bersama generasi terbaik yang pernah ada dalam lintasan peradaban manusia, yaitu generasi pertama umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Kisah inspiratif bagaimana sahabat merealisasikan Cinta Rasul dengan pengorbanan nyawa. Kali ini kita akan ‘menyaksikan’ aksi heroik dan luapan cinta Khubaib radhiallahu ‘anhu kepada Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Sebuah cinta suci sehingga yang tidak rela kekasihnya tersakiti walaupun hanya tertusuk duri! Dan Khubaib mengajarkan banyak hal kepada seorang pemuda bernama Sa’id bin Amir Al-Jumahi radhiallahu anhu dan kepada kita semua…

Sa’id bin Amir adalah satu dari ribuan orang yang keluar ke daerah Tan’im di luar Makkah atas undangan para pemuka Quraisy untuk menyakikan kematian Khubaib bin Adi, salah seorang sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.

Sebagai pemuda yang kuat dan anak muda yang tangguh, Sa’id mampu menerobos kerumunan orang-orang dengan melewati pundak-pundak mereka hingga akhirnya dia mampu berdiri sejajar dengan para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan lain-lainya yang menguasai perkumpulan tersebut.

Semua itu membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan Quraisy terikat dengan tambangnya, sementara tangan kaum wanita, anak-anak, para pemuda mendorongnya ke pelataran kematian dengan kuatnya, mereka ingin melampiaskan dendam kesumat terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Khubaib dan membalas kematian teman-teman mereka yang terbunuh di Badar dengan membunuhnya.

Manakala rombongan orang dalam jumlah yang besar itu telah membawa tawanan mereka telah tiba di tempat yang sudah disiapkan untuk membunuhnya, anak muda ini, Sa’id bin Amir al-Jumahi, berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib. Sa’id mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita dan anak-anak, dia mendengarnya berkata, “Bila kalian berkenan membiarkanku shalat dua rakaat sebelum aku dibunuh, maka biarkanlah aku.”

Sa’id melihat Khubaib, dia menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua rakaat yang sangat baik dan sangat sempurna.

Sa’id melihat Khubaib menghadap para pemuka Quraisy dan berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir kalian menyangka bahwa aku memperlama shalat karena takut mati, niscaya aku akan memperbanyak shalat.”

Kemudian Sa’id melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya sendiri memutilasi jasad Khubaib satu demi satu padahal Khubaib masih hidup, sambil berkata kepadanya, “Apakah kamu ingin Muhammad menggantikanmu di tempat ini sehingga kamu bisa selamat?”

Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya, “Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh secuil duri.”

Maka orang-orang melambai-lambaikan tangan mereka di udara, teriakan mereka meninggi, “Bunuh dia! Bunuh dia!”

Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang salib dan berkata, “Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, bunuhlah mereka sampai habis, dan jangan membiarkan seorang pun dari mereka.”

Lalu Khubaib menghembuskan nafas terakhirnya, dengan jasad yang tidak seorang pun mampu menghitung berapa tebasan pedang dan tusukan tombak padanya.

Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, mereka melupakan Khubaib dan kematiannya bersama dengan datangnya peristiwa demi peristiwa besar yang mereka hadapi.

Namun bagi anak muda yang baru tumbuh ini, Sa’id bin Amir, Khubaib tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat pun.

Sa’id melihatnya dalam mimpi ketika dia tidur, dan melihatnya dalam khayalannya ketika dia terjaga. Sa’id masih dapat membayangkan ketika  dia shalat dua rakaat dengan tenang dan tenteram di depan kayu salib, dan bisikan suaranya selalu terngiang-ngiang di kedua telinganya ketika dia mendoakan keburukan bagi orang-orang Quraisy, maka dia khawatir sebuah halilintar akan menyambarnya atau sebuah batu dari langit akan menimpanya.

Kemudian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Sa’id yang belum dia ketahui selama ini.

Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa kehidupan sejati adalah memegang teguh akidah yang diyakininya sampai maut datang menjemput.

Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa iman yang terpancang kuat bisa melakukan keajaiban-keajaiban dan membuat mukjizat-mukjizat.

Khubaib juga mengajarkan perkara lainnya, yaitu seorang laki-laki yang dicintai sedemikian rupa oleh para sahabatnya dengan kecintaan seperti itu adalah seorang nabi yang didukung dari langit.

Pada saat itulah Allah Ta’ala melapangkan dada Sa’id bin Amir untuk menerima Islam, maka dia berdiri di hadapan kumpulan manusia, mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan orang Quraisy, meninggalkan berhala-berhala dan patung-patung yang disembah kaum Quraisy, dan bahwa dia telah masuk ke dalam agama Allah.

Sa’id bin Amir radhiallahu ‘anhu berhijrah ke Madinah, menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ikut bersama beliau dalam perang Khaibar dan perang-perang lain sesudahnya.

Sumber:
Shuwar min Hayatish Shahabah, edisi terjemahan Jejak Perjuangan & Keteladanan Sahabat Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Kisah Inspiratif Bertabur Hikmah dari Generasi Terbaik Umat Islam, Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya, Darul Haq, Jakarta, cetakan 1 Rabiuts Tsani 1440.

by Abu Asiyah Al-Banteni

Print Friendly, PDF & Email